ü  Masyhudulhakk : arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.
ú  …Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu.
ú  Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
ú
  …..Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk,”Baik kepada seorang-seorang aku 
bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga 
orang mereka itu.
ü  Si Bungkuk : setia pada istrinya, suka mengalah, mudah percaya.
ú  Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.
ú
  Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan 
dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk 
laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 
2) hamba kedua ini.
ú  Maka kata 
orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka 
turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu.
ü  Si Panjang / Bedawi : licik, egois.
ú
  Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta 
dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun 
sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!
ú
  Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba;
 lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini 
tentulah suaminya.
ü  Istri Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.
ú  hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah.
ú  ….maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.
·         Setting :
ü  tempat :
ú  tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
ú  Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu
ü  Suasana :
ú  menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
ú
  Mengecewakan:  “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah 
aku mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.
ú  Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah.
ü  Waktu : tidak diketahui
·         Alur : Alur maju
ü  Eksposisi         :
Mashudulhakk
 arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit  maka 
berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka 
bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah 
dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai.
ü  Complication   :
….serta
 dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun 
sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!
ü  Rising action   :
Maka
 sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada 
perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. 
Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan
 hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, 
hamba jadikan istri hamba.”
ü  Turning point :
Maka
 orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu 
maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun 
datanglah dengan perempuan itu. Masyhudulhakk, “Baik kepada 
seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa 
benar di dalam tiga orang mereka itu.
ü  Ending                        :
Masyhudulhakk
 dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan 
kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. 
Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan 
Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.
·         Poin of View :
ü  orang ke-3 :
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
·         Amanat :
ü  Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri
ü  Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan
ü  Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita
ü  Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya
ü  Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah
Unsur ekstrinsik :
·
         Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang 
telah diberikan oleh Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang 
tidak kita miliki karena apa yang te;ah diberikan Allah kepada kita 
adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn seperti yang ada 
pada hikayat mashudulhakk.
·         Nilai moral :
Janganlah
  sekali-kali  kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah 
itu benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan 
mengalahkan ketidak benaran.
·         Nilai social budaya :
Sebuah
 kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini 
diterangkan bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka
 akan did era sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk 
akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.)
·         Kepengarangan :
Hikayat
 mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) 
dengan diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang 
diterbitkan oleh A.F. v.d. Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan
 yang tersebut).Dalam Volksalmanak Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi 
naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan dan sambungannya dimuat 
pula, dengan alamat “Masyudhak”.. Dinantinya.
================================================================================================================================================
2.  “IBNU HASAN”
Syahdan,
 zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, 
banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang 
terkaya, bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, 
sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh
 Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang 
kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang 
bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus  mengeluarkan biaya, 
berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.
Syekh
 Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang 
sangat tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu
 Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang 
lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun 
demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya 
dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka 
bersolek, karena itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
Ayahnya
 berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa 
pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku 
pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya
 putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil
 dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, 
sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju 
keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah
 jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun 
hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku
 tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat
 cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan 
kedua orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis 
terisak-isak, harus berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, 
belum cukup usia.
“Kelak, apabila 
ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, 
karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras 
kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, 
merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, 
hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang
 mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau 
orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri
 jangan menganggap enteng segala hal.”
Ibnu
 Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat
 dan kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai
 menempuh jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan 
malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan 
sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan 
Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan 
dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali 
menggantikan tugas Mairun.
Perasaan 
sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu
 berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, 
dengan selamat berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian 
menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.
Pada
 suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu 
seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan 
menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh
 menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”
 Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah 
anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat
 ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar 
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan
 terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu
 Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di 
segera  pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar 
disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang 
sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai 
berkata demikian, tujuan untuk  menguji muridnya, apakah betul-betul 
ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang
 sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, 
ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan 
kekurangan.
Namun, pendapat hamba 
tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah
 menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi,
 ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu 
habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini 
bodoh.
Bukan bertambah mashur, 
asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya 
karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat
 anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak 
harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau 
lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
           UNSUR INSTRINSIK
Ø  Tema    : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya
Ø  Tokoh   :
o   Ibnu Hasan
o   Syekh Hasan
o   Ibu Ibnu Hasan
o   Mairin
o   Mairun
o   Saleh
o   Kyai guru
 
5. Nilai Pendidikan
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
================================================================================================================================================
 
asal
 nama, asal usul, bakti anak, bunga, cerita anak, Cerita Rakyat, iri 
hati, jahat, kecantikan, kejam, kerajaan, pemalas, saudara 47
Dahulu
 kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang 
cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia 
terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk 
mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal ketika melahirkan
 anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang 
pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka 
bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah 
mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.
Kesepuluh
 puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri
 Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, 
Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, 
Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, 
sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun 
kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, 
ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan 
tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang 
pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.
Pada
 suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua 
puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang
 kalian inginkan?” tanya raja.
“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.
“Aku
 mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja 
meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya
 dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan 
ayahnya.
“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya.
“Anakku,
 sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat 
dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama
kemudian, raja pun pergi.
Selama
 sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering 
membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. 
Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak
 sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya
 karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri 
Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering
 dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon 
dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun 
Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri Kuning 
yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita
 punya pelayan baru,” kata seorang diantaranya.
“Hai
 pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil 
melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. 
Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut
 terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia 
bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai 
perintah kakak-kakaknya.
“Kalian
 ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa 
untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan 
marah.
“Sudah
 ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka 
meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap 
hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, 
kesembilan puterinya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning 
sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi
 sangat sedih.
Anakku
 yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain 
kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang 
raja. Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai 
negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya.
“Sudahlah
 Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan 
bajuku yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.
“Yang
 penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” 
ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya 
berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak 
ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.
Keesokan
 hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai
 adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, 
karena aku adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.
“Ayah
 memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. 
Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari 
saudara-saudaranya dan menghasut mereka.
“Kalung
 itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus 
mengajarnya berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk 
merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. 
Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan
 tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.
“Astaga!
 Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai 
mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau 
ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. 
Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu 
pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai 
para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya.
Tentu
 saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, 
berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. 
“Aku ini ayah yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke 
tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun 
mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja 
sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri
 Kuning yang hilang tak berbekas.
Suatu
 hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja 
heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, 
daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih 
kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri 
Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata raja dengan senang. 
Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga 
kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai 
untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat 
orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan 
kebaikan.
 
================================================================================================================================================
 
Nun,di
 sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan 
tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki 
batang yang sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma 
khasnya yang harum, semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga 
tidaklah menjadi hairan, ramai sekali para pencari kayu bakar yang 
merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang berniat baik untuk 
turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka 
membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Sering
 kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang 
diperoleh dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan 
dengan penuh harap agar suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh 
dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik akan tumbuh dengan sejuta 
pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja, untuk lebih 
mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.
Sementara
 bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu 
sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan
 baik, maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. 
Perhatian yang tentu saja membuat langkah mereka semakin sulit dalam 
membuat kerosakan di dalam hutan itu. Para penebang pohon yang liar itu 
berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu ke halaman 
rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka 
mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.
Beruntung,
 pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para 
pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring 
berjalan dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . 
Selain itu, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh 
dengan cepat. Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat 
diserap dengan baik. Demikian juga dengan air yang ada, dapat digunakan 
oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
Dipendekkan
 cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun menghijau
 membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir 
wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, 
pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat 
menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. 
Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun 
para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah untuk selalu 
menghapuskan pohon itu.
Namun,
 demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di 
atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan 
keadaan pohon cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh 
penghuni hutan. Pada suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun 
kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia 
sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada bila-bila masa boleh 
menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya berniat untuk 
mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi
 lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya 
serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang 
kuat, dan dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju
 dan kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah 
tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang
 Akar, yang sekuat tenaga mencengkam tanah.
Sang
 Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia 
membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan 
keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, 
pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti 
bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” 
“Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti” 
“Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya 
batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di 
sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku
 mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa 
kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang 
dunia ini!”
“Aduhai…angkuh
 nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat berdiri 
dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, 
hah?!” Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai 
merasa angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang 
Pucuk. “Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat”
 “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada 
kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! 
kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih 
kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan
 demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak 
merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa 
ialah segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. 
Ia merasa ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala 
penglihatannya yang luas akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah 
memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati. 
Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah 
yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh 
bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan 
perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah
 merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu
 yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang 
berlarutan itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan 
zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan 
melerai perdebatan kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan 
meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya
 semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah 
mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan 
irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin 
justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang
 Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan 
gerakannya yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap 
dalam tidur yang tidak disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya
 terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk 
yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar 
yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat terhadap 
tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua 
saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.
Beginilah
 akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari
 kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar 
bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri 
kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang 
rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling
 hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat 
diteruskan dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang 
beriman..
InsyaAllah..
================================================================================================================================================
 
Syahdan,disuatu
 masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai 
sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama 
seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa 
rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan 
keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang 
untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa 
memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi 
abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.
si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”
abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”
si 
lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar 
dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak 
tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :
“hai
 fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang 
ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi 
kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”
si 
lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak 
membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu 
membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.
abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”
si 
lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku 
tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan 
dan kotorannya berbau tak sedap.”
abu 
nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan 
buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”
silelaki
 terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya 
peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun 
seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi 
abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke
 pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam 
rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.
abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”
si 
lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat 
paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat 
mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”
abunawas
 : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia 
kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”
si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”
abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”
lelaki
 itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah 
abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke
 pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam 
rumahnya.
3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas
abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”
si 
lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel 
sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan 
mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan 
suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya 
abu.”
abu 
nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu 
kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”
si 
lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh 
beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual
 kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.
abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”
si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas
abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”
si 
lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh 
lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah 
mulai berhenti menangis.”
abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok “
si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas
abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”
si 
lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega 
karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak 
marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”
abunawas
 : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah 
menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas 
tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit 
sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus
 lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih 
sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan 
banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan 
banyak mengeluh.”
silelaki
 pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan 
kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…
================================================================================================================================================
 
Hikayat
 Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan
 etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai
 tokok gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi 
serangan etnis tertentu dari seberang. Apa boleh buat, sesuatu yang 
telah dilupakan menjadi bangun ke alam nyata. Lalu siapa Panglima Burung
 dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil 
jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami DAS Barito.
Kerusukan
 etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa 
Panglima Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan 
mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima
 Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias 
Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak 
dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan 
membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan 
Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung 
(adalah) seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain 
itu ia juga bergelar hajjah”
Disamping
 Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga 
menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima 
Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima 
Angin dan beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa 
panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung 
dan Panglima Api.
Dan 
kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai 
Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud 
seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung 
sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang 
mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran ini adalah karena sosok 
Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan menyandang titel 
seorang hajjah.
WA 
Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut 
keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang 
mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu 
terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, 
Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama 
Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan 
Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Pangeran Antasari Gusti 
Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu 
dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing,
 Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan 
dalam perjuangan”.
Dalam
 rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung 
yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh 
masyarakat. “Ada yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama 
populernya adalah “Bulan Jihad”. Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama 
Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan seperjuangannya.
Dan 
kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, 
putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki 
kawasan Barito Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang 
terkenal): “Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.
Tjilik
 Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau 
Bulan Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak 
Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero 
Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti
 mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan (mampu)
 melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang 
berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan 
demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat 
(1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala
 tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, 
lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa 
keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad 
tetap bertekad meneruskan perjuangan dan terus mengembara. Maka 
terjadilah perpisahan yang sangat memilukan. Dengan berat hati keluarlah
 Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dia dibawa 
ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.
Sejak
 perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan 
Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 
1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat
 di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia
 sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat 
karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September 1953) di 
Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu 
pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah 
sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi 
perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang 
melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari
 bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa 
kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang 
jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran 
Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti
 Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima 
Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku 
Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu 
Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran 
Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku 
Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan
 pun juga”.
================================================================================================================================================
 
Sejak
 peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang 
dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap 
Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.
Sudah
 menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah 
Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda 
tahu Abu Nawas amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda 
memerintahkan prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan 
rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa
 takut dan gemetar tetapi ia tidak berani menolak perintah Baginda.
Dalam
 perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi 
mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas
 mendekati Baginda.
“Tahukah mengapa engkau aku panggil?” tanya Bagla tanpa sedikit pun senyum di wajahnya.
“Ampun Tuanku, hamba belum tahu.” kata Abu Nawas
“Kau
 pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan Hutan masih jauh dari 
sini. Kau kuberi kuda yang lambat Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku 
akan menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita 
berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus 
menghindarinya dengan cara kita masing masing agar pakaian kita tetap 
kering. Sekarang kita berpencar.” Baginda menjelaskan.
Kemudian
 Baginda dan rombongan mulai bergerak.Abu Nawas kini tahu Baginda akan 
menjebaknya, la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang 
berpikir, tiba
tiba hujan turun
Baginda
 dan rombongan secepat memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan 
yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para 
pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera menuju 
tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para pengawalnya 
kering,Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lambat Baginda dan 
para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah. Padahal 
dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat berlindung 
yang paling dekat.
Pada
 hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi 
Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai 
kuda-kuda yang lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan 
berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah hari ini lebih deras 
daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena 
kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang
Ketika
 saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba tempat peristirahatan lebih 
dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. 
Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian 
yang basah kuyup. Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering 
Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan 
yang selama ini disembunyikan.
“Terus terang begaimana caranya menghindari hujan , wahai Abu Nawas.” tanya Baginda.
“Mudah Tuanku yang mulia.” kata Abu Nawas sambil tersenyum.
“Sedangkan’
 aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh 
terdekat, apalagi dengan kudamu yang lamban ini.” kata Baginda.
“Hamba
 sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun 
hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu 
mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti.” Diam-diam 
Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.
================================================================================================================================================
 
Karena
 dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan
 kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya 
langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. 
Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang 
akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul.
Dan 
tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan
 titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam 
penjara. Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan
 istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu 
bahwa tetangga-tetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab 
mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Tidak
 ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar. 
Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. Ia hanya 
makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya 
murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku 
minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
“Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah.
“Aku
 ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk 
istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh 
diketahui oleh istriku saja.”
Pengawal
 itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata 
pengawal itu menghadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan 
dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. 
Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu 
Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi:
“Wahai
 istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku 
menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan 
bercerita kepada siapa pun.”
Tentu
 saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa 
sebenamya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa 
puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali 
ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan 
langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. 
Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka? Pertanyaan itu tidak 
terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya 
menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima
 hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu 
berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena 
beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka 
menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?”
Rupanya
 istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan 
bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di 
ladang tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak 
bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin mengakui 
keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas 
masih bisa melakukan pencangkulan.
================================================================================================================================================
 
Kadangkala
 untuk menunjukkan sesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya 
sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata
 kepala sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup 
sengsara. Ada saja praktek jual beli budak.
Dengan
 tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja. 
Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk 
dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya 
dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang 
giliran
Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.
Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid.
“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia.”
“Apa itu wahai Abu Nawas?” tanya Baginda langsung tertarik.
“Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas meyakinkan.
“Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya.” kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.
“Tetapi Baginda … ” kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.
“Tetapi apa?” tanya Baginda tidak sabar.
“Bila
 Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti 
orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu.” kata Abu
 Nawas.
Karena begitu besar 
keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat
 biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah hutan.
Setibanya
 di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang 
rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu 
Nawas menemui seorang badui yang pekerjaannya menjuai budak. Abu Nawas 
mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual 
kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa 
sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas 
tidak tega menjualnya di depan mata. Setelah pedagang budak itu 
memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan 
surat kuasa yang
menyatakan bahwa 
pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang 
duduk di bawah pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu menerima 
beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.
Baginda
 Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak 
menghampirinya. la belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan 
batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di 
situ.
“Siapa engkau?” tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.
“Aku adalah tuanmu sekarang.” kata pedagang budak itu agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
“Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya.” kata pedagang budak dengan kasar.
“Abu Nawas menjual diriku kepadamu?” kata Baginda makin murka.
“Ya!” bentak pedagang budak.
“Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?” tanya Baginda geram.
“Tidak
 dan itu tidak perlu.” kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret 
budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang 
dan diperintahkan untuk membelah kayu.
Begitu
 banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya 
saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus 
mengerjakannya.
“Ayo kerjakan!”
Sultan
 Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si
 badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.
“Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali !”
Sultan
 Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam 
terarah ke kayu. la mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya 
terasa aneh dan kaku bagi si badui.
“Oh,
 beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja 
keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga.” gumam Sultan 
Harun Al Rasyid.
Si 
badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan 
lama-lama menjadi marah. la merasa rugi barusan membeli budak yang 
bodoh.
“Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan.”
“Kurang
 ajar kau budakku harus patuh kepadaku!” kata badui itu sembari memukul 
baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang, ia menjerit 
keras saat dipukul kayu.
“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid.” kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.
Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja.
la 
pun langsung menjatuhkan diri sembari menyembah Baginda Raja. Baginda 
Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi 
kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau
 meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.
================================================================================================================================================
 
Nyamannya
 suasana rimba di pagi hari. Mergastua bergembira menikmati keindahan 
alam semula jadi. Di alam inilah tinggalnya sang kancil yang bijaksana 
dengan sahabat karibnya kura-kura. Mereka hidup rukun damai, bebas 
bergembira, tolong-menolong dan bekerjasama di taman peliharaan mereka.
Kelihatan
 seekor monyet berdekatan kawasan taman peliharaan sang kancil dan 
kura-kura. Sungguh lincah si monyet, bergayutan ke sana ke mari. Megah 
dengan kebolehannya. Awas, monyet! jangan ganggu ketenteraman penghuni 
yang lain.
Tiba-tiba
 monyet berhenti bergayut dan memerhatikan sesuatu, apa pula yang 
dilihatnya? “Ranumnya buah-buahan di sini. siapa punya agaknya?” kata 
monyet. “Oh, rupanya sang kancil dan kura-kura.” Balas monyet sendiri 
selepas melihat sang kancil dan kura-kura yang ada di situ. Begitu rajin
 mereka bekerja. bukan seperti engkau monyet.
Lantas
 itu, monyet bergerak ke arah sang kancil dan kura-kura sambil memegang 
perutnya. eh, ini mesti ada apa-apakan monyet? “Tolong, tolong! dah 
empat hari aku tak makan. Tolonglah, berikan aku sedikit makanan. 
kasihanlah aku.” Monyet berpura-pura sakit di depan dua sahabat baik 
itu. Sang kancil dan kura-kura saling berpandangan, lalu sang kancil 
berkata, “kesiannya, empat hari tak makan. Baiklah monyet. Ambil sajalah
 apa yang engkau nak dari taman kami. Makanlah sepuas hati engkau 
monyet.” Sang kancil yang begitu prihatin dengan kesakitan yang dihadapi
 monyet menghulurkan bantuan. “Terima kasih kancil, terima kasih 
kura-kura.” Ujar monyet setelah berjaya memperdaya sang kancil dan 
kura-kura.
“Aku
 nak itu, aku nak itu!” pinta monyet dalam nada mendesak, sambil jarinya
 menuding ke arah pokok cili yang nampak menarik itu. “Eh, tak boleh 
monyet. kita tak boleh makan buah tu.” larang sang kancil sambil dibantu
 kura-kura di sebelahnya. “Aku tak peduli, aku tak peduli, aku nak 
juga.” Monyet yang tamak dan degil itu masih berkeras mahu mengambil 
cili itu untuk dimakannya. “Jangan monyet, jangan!” belum pun sempat 
kancil menghabiskan ayatnya, monyet telah mengambil cili itu lalu 
memakannya beberapa batang sekali gus. Apa lagi, terasa berapi dan merah
 muka monyet akibat kepedasan yang melampau. “Ha, rasakan engkau monyet.
 Beginilah jadinya mereka yang tidak menerima nasihat orang.” Ujar 
kura-kura yang geram melihat kedegilan monyet.
Selang
 beberapa hari kemudian, sang kancil dan kura-kura bersiar-siar di taman
 peliharaan mereka. “Apa khabar pula dengan si monyet?” bicara sang 
kancil kepada kura-kura. “Kasihan, ingat-ingat monyet. jangan diulang 
lagi.” Kata kura-kura yang terlihatkan monyet yang masih berada di situ.
Pengajaran:
1. Jangan tamak
2. Mendengar nasihat orang lain
3. Jangan berdendam
================================================================================================================================================
 
Pada
 suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka 
berjalan menelusuri hutan rimba belantara namun tak juga mendapat kabar 
keberadaan Sita Dewi.
Saat
 Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka bertemu dengan 
seekor burung jantan dan empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama 
bertanya pada burung jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang diculik 
orang. Burung jantan mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya
 dengan baik, tak seperti dia yang memiliki empat istri namun bisa 
menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama mendengar perkataan burung itu. 
Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya agar memgutuk burung 
itu menjadi buta hingga tak dapat melihat istri-istrinya lagi. Seketika 
burung itu buta atas takdir Dewata Mulia Raya.
Malam
 tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seekor
 bangau yang sedang minum di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada 
bangau itu. Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang seorang 
wanita dibawa oleh Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena 
mendapat petunjuk dari cerita bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama 
memohon pada Dewata Mulia Raya untuk membuat leher bangau menjadi lebih 
panjang sesuai dengan keinginan bangau. Namun, Sri Rama khawatir jika 
leher bangau terlalu panjang maka dapat dijerat orang.
Setelah
 Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama 
kemudian datanglah seorang anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu 
melihat bangau yang sedang minum kemudian menjerat lehernya untuk dijual
 ke pasar. Sri Rama dan Laksamana bertemu dengan anak itu dan 
membebaskan bangau dengan memberi anak itu sebuah cincin.
Ketika
 dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk 
mencarikannya air. Sri Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti jatunya 
anak panah agar dapat menemukan sumber air. Setelah berhasil mendapatkan
 air itu, Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum air 
itu, ternyata air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana untuk 
mengantarnya ke tempat sumber air dimana Laksamana memperolehnya. 
Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu berlinang-linang. Sri Rama 
mengatakan bahwa dulu pernah ada binatang besar yang mati di hulu sungai
 itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana memutuskan untuk mengikuti jalan 
ke hulu sungai itu.
Mereka
 bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang tertambat 
sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa 
sampai Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya pada Sri Rama 
tentang pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai 
bercerita, ia lalu memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat 
Jentayu gugur ke bumi saat berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian, 
cincin itu diambil oleh Sri Rama. Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu
 memang benar cincin istrinya, Sita Dewi.
Jentayu
 berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke negeri Langka 
Puri, Sri Rama tidak boleh singgah ke tepi laut karena di sana terdapat 
gunung bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit tersebut ada saudara 
Jentayu yang bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak ingin 
saudaranya itu mengetahui bahwa dirinya akan segera mati. Setelah 
Jentayu selesai berpesan, ia pun mati.
Sri 
Rama menyuruh Laksamana  mencari tempat yang tidak terdapat manusia 
dengan memberinya sebuah tongkat. Tetapi, Laksamana tidak berhasil 
menemukan tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana 
mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak dapat menemukan tempat sesuai 
perintah Sri Rama. Kemudian, Sri Rama menyuruh Laksamana untuk 
menghimpun semua kayu api dan meletakkannya di tanagn Sri Rama. Lalu 
diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu api itu dan di bakar oleh 
Laksamana. Beberapa lama kemudian, api itu padam. Laksamana heran 
melihat kesaktian Sri Rama yang tangannya tidak terluka bakar 
sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat 
itu.
Unsur-unsur intrinsik Hikayat Sri Rama:
Tema: Kesetiaan dan pengorbanan
bukti:
 Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi membantu Sri Rama yang 
sedang kesulitan mencari Sita Dewi. Mereka bakti akan perintah Sri Rama 
dengan menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri Rama.